Cerpen Pendidikan - Mendulang Harta
Posted: Kamis, 12 Januari 2012 by zainina inHari panas terik. Sang surya bersinar dengan ganasnya. Membuat ubun-ubun
terasa mendidih. Aris mempercepat langkah menuju rumahnya. Akhirnya
sampai juga. Dia duduk melepas lelah sambil membuka sepatunya.
‘’Huh,
lega rasanya,’’ ia menghela napas dan beranjak masuk ke dalam. Baru
saja melangkahkan kaki ke dalam rumah, ia menemukan uang berserakan di
lantai.
‘’Hah, uang apa pula ini Mak,’’ katanya heran. Tentu saja
dia heran. Di zaman serba sulit ini uang dibiarkan berserakan di lantai
begitu saja. ‘’Untung aku bukan maling yang tiba-tiba masuk ke dalam
rumah,’’ pikirnya nakal.
“Uang punya Mak. Berikan sama Mak. Bapak mau keluar,’’ sahut bapak.
‘’Hmm, Mak sudah punya uang sekarang. Jadi, aku bisa minta uang untuk membayar uang les dan LKS,’’ pikirnya.
‘’Maaak, Oo Maaak,’’ panggil Aris.
‘’Ada apa Ris. Ganggu orang saja kamu ini,’’ kata maknya jengkel.
Lalu
Aris menyerahkan uang tersebut pada maknya. Ia menjelaskan bahwa uang
les dan LKS-nya belum dibayar. Sedang pihak sekolah sudah beberapa kali
menagihnya. Tapi bukannya diberi uang, dia malah dimarahi oleh maknya.
‘’Saya
heran dengan sekolah kamu itu. Banyak sekali tetek bengek yang harus
dibayar. Kan ada dana BOS. Untuk apa dana BOS itu? Sudahlah, tidak usah
kamu sekolah. Buang-buang uang saja. Sekarang karet itu tidak berharga,
tahu?’’ Katanya dengan muka merah menyala.
Aris sudah menjelaskan
bahwa dana BOS itu tidak mencukupi, karena sekolahnya hanya sekolah
swasta dan banyak memakai tenaga honor. Tapi maknya tidak mau tahu
dengan semua itu. Dia malah menyuruh Aris cari uang sendiri. Kemanakah
uang kan dicarinya? Ah, Emak tak mengertilah dengan pendidikan. Padahal
pendidikan itu sangat penting. Dengan pendidikan kita akan bisa menatap
masa depan yang gemilang.
‘’Buat apa kamu sekolah? Lihat itu hah,
banyak yang sekolah tinggi, tapi akhirnya cuma jadi pengangguran, kan?
Jadi buat apa sekolah?’’ tambah maknya lagi.
Aris lebih memilih
diam dari pada menjawab omongan maknya. Ia menyayangkan kenapa maknya
mempunyai pola pikir yang terbelakang seperti itu? Sekarang orang
berlomba-lomba mencari ilmu, tapi mak malah melarangnya.
‘’Mak...
mak, mengapa Emak lebih suka mengumpulkan uang, beli emas, dan
membanggakan diri pada orang lain dari pada menyekolahkan kami anak-anak
mak. Itu akan lebih bermanfaat,’’ gumamnya dalam hati.
Aris sudah lelah mendengarkan omelan emaknya itu. Dia keluar dan pergi entah ke mana.
Sedangkan
si Lina, adiknya baru saja pulang dari sekolah SMP yang tidak jauh dari
rumahnya. Setibanya di rumah, mak menyuruhnya mandi dan berpakaian yang
bagus. Tidak biasanya mak seperti ini. Ternyata si Lina akan dilamar
oleh Pak Anto duda kaya yang tinggal di desa sebelah. Tentu saja Lina
menolak dengan keras semua itu. Namun, mak tetap bersikeras dengan
kemauannya. Ia sama sekali tidak memikirkan bahwa anaknya itu di bawah
umur untuk menikah. Apalagi akan dinikahkan dengan seorang duda. Ah,
benar-benar tidak masuk akal.
Emak sudah terpengaruh oleh harta.
Mak bilang, ia iri pada teman-teman arisannya yang kaya dan hidup mewah.
Sedangkan mak tidak punya apa-apa. Mak ingin menabung untuk menggapai
semua itu. Kalian tidak usah sekolah. Hanya menambah beban saja.
Hari-hari
berikutnya, Aris tak lagi bersekolah. Ia berhenti dan bergaul dengan
teman-temannya yang tidak sekolah. Sebenarnya hati kecilnya selalu sedih
tiap kali melihat teman-temannya bersekolah. Tapi apa mau dikata, mak
sudah tidak mau lagi menyekolahkannya.
Setiap kali ia ikut
teman-temannya dan tampaknya ia juga mulai terpengaruh oleh teman-teman
baru itu. Sedangkan mak sudah tidak peduli lagi dengannya. Ia sibuk
mengumpulkan harta, apalagi sekarang ia telah punya menantu kaya.
Waktu
terus berjalan. Aris semakin terjerumus dalam kehidupan yang tidak
memiliki masa depan. Ia telah berubah. Hingga suatu hari dengan
tergopoh-gopoh, Enda temannya Aris datang dan memberitahukan pada Emak
kalau Aris ditangkap polisi tadi malam. Tapi sekarang ia dirawat di
rumah sakit. Overdosis katanya. Habis pesta sabu-sabu.
Bagai guntur
di siang bolong, Emak dan bapak kaget bukan kepalang. Tapi apa mau
dikata. Itu salah mereka, mereka yang menginginkan anaknya seperti itu.
Mak menangis-nangis menyesali perbuatan dan siapnya yang tak mau
menyekolahkan anaknya itu.
‘’Sudahlah Nur, mudah-mudahan Aris
lekas sembuh dan kita bisa kumpul lagi seperti dulu. Akan kita bina
keluarga kita. Biarlah kita hidup sederhana, asalkan hati dan keluarga
kita bahagia,’’ kata Bapak dengan mata berkaca-kaca, ia berusaha
menenangkan hati mak.
‘’Bapak benar, kini mari kita bina dan songsong keluarga sakinah,’’ kata mak mantap.
Cerpen Tentang pendidikan ini adalah Karya Isra Khasyyatillah